Wednesday, August 10, 2016

Bulan depan, ada yang bangkit!


Terlalu munafik untuk selalu minta maaf dan mengulanginya lagi. Gue gak akan minta maaf soal lambat post, karena seterusnya juga akan seperti itu. Bukan begitu?

Post ini gak penting-penting banget, hanya cerita tentang apa yang terjadi belakangan ini. Akan agak piluh, gak perlu banyak candaan atau unsur komedi.

Hanya butuh ketenangan untuk membacanya, dan kericuhan hati untuk menulisnya. Gue lagi bimbang akan apa yang terjadi belakangan ini.

Oiya, gue abis nulis sebagian tugas. Gue gak mampu menyelesaikannya dalam satu kesempatan menulis. Jadi belakangan ini, gue dapet banyak permintaan menulis. Dari guru, dari kawan, dari kalian juga.

Gue mencoba memberanikan diri untuk melawan rasa malas. Buah bibir sekolah buat gue belakangan ini tentang lomba menulis. Yang katanya sih ‘Surat Untuk Presiden’. Gue paham lomba ini. ‘Surat untuk Presiden’. Banyak orang salah kaprah,

                “Wah lex, keren lo. Tulisan lo bakal dikirim ke Presiden.”

                Men. Lo semua salah. Ini hanya sekedar Surat Untuk Presiden. Bukan, surat untuk presiden yang akan dikirimke Presiden.

                Ngerti gak? Intinya itu deh.

                Nah, gue lagi ikut itu. Tadi gue sempet nulis, tapi belom kelar. Gue masih gak ngerti, mana kata-kata yang tepat untuk tulisan pengisi surat itu.

                Guru pendamping gue bilang,

                ‘Tumpahin aja semuanya. Curhat tentang isi hati kamu.’

                Iya sih, tapi gak curhat ke Presiden juga kan ya?

Nah, kelar bahas itu. Lagi. Yang kayak gue bilang tadi, lagi banyak tawaran sukarela menulis. Banyak orang bilang bahwa gue amat sangat teramat sungguh berpotensi dalam dunia menulis. Gue bisa jadi penulis besar, kata mereka.

                ‘Nah, terus apa yang salah, Lex?’

                Ini sangat masalah. Ini sangat beban. Ketika lo bisa melakukan sesuatu, tapi itu bukan keinginan lo. Bukan hidup lo. Bukan gaya lo. Dan orang-orang terus memojokkan lo pada titik itu. Titik lo harus masuk ke dunia yang bukan hidup lo, hanya karena sekedar lo mampu.

                Ini yang menjadi keresahan gue belakangan ini. Ketika gue disebut-sebut sebagai penulis.

                Mungkin, gue berbakat di sini. Tapi, ini bukan kemauan gue. Impian gue bukan ini. Ini, yang harus gue pikirkan. Tuntaskan. Kikis hingga menjadi kerikil pikiran. Kecil, tak bernyawa. Tak berarti untuk melukai hati.

                Dah. Kelar masalah itu. Selebihnya, itu akan gue pikirkan pribadi.

                Lalu, ada kabar penting. Melihat kondisi wordpress gue yang ternyata gagal. Dalam artian gue yang menelantarkan. Ada tawaran yang bisa gue pertimbangkan. Dia ingin gue mengurus kembali WP itu, dengan bantuan dia. Untuk bangun sebuah rumah untuk barisan ayat puisi.

                Temen sekolah gue. Dia pengen gue untuk bantu dia. Yang nyatanya adalah, dia yang amat membantu gue, jika rencana ini berjalan. Gue udah 80% deal dengan pikiran sendiri. Kendala terbesar adalah, malas.

                Ini, gue harus melakukan hal yang sama seperti beban pikiran tadi. Gue harus mengkikisnya secara tajam.

                Mungkin, mulai bulan depan. WP gue akan bangkit dari tidur panjangnya. Dan, 50 persen dari itu akan disabotase oleh seorang penulis, salah satu idola gue. Temen sekolah gue.

                Yang kalo pulang, pas di angkot bareng gue. ‘Memaksa’ hati gue agar tidak turun dari angkot. Ketika satu atap dengan dia di angkot, gue ingin jarak yang gue tempuh berkali-kali lipat dari aslinya. Hanya agar bisa bersama dengannya. Bukan untuk apa.

                Hanya asik aja ngobrolin tentang bait-bait puisi. Atau rima yang cocok untuk sebuah tulisan. Atau berdebat antara penyair lama. Yang mana, gue adalah penikmat sejati Chairil Anwar, seseorang yang mengaku bukan binatang jalang. Dan dia, seorang penggemar Gibran.

                Gak pernah ada kecocokan antar Anwar dan Gibran. Begitu pula gue dan dia.


                Si tukang sabotase.

0 Saran:

Post a Comment