Terlalu munafik untuk selalu minta maaf dan mengulanginya
lagi. Gue gak akan minta maaf soal lambat post, karena seterusnya juga akan
seperti itu. Bukan begitu?
Post ini gak penting-penting banget, hanya cerita tentang
apa yang terjadi belakangan ini. Akan agak piluh, gak perlu banyak candaan atau
unsur komedi.
Hanya butuh ketenangan untuk membacanya, dan kericuhan hati
untuk menulisnya. Gue lagi bimbang akan apa yang terjadi belakangan ini.
Oiya, gue abis nulis sebagian tugas. Gue gak mampu menyelesaikannya
dalam satu kesempatan menulis. Jadi belakangan ini, gue dapet banyak permintaan
menulis. Dari guru, dari kawan, dari kalian juga.
Gue mencoba memberanikan diri untuk melawan rasa malas. Buah
bibir sekolah buat gue belakangan ini tentang lomba menulis. Yang katanya sih ‘Surat
Untuk Presiden’. Gue paham lomba ini. ‘Surat untuk Presiden’. Banyak orang salah
kaprah,
“Wah
lex, keren lo. Tulisan lo bakal dikirim ke Presiden.”
Men. Lo
semua salah. Ini hanya sekedar Surat Untuk Presiden. Bukan, surat untuk
presiden yang akan dikirimke Presiden.
Ngerti
gak? Intinya itu deh.
Nah,
gue lagi ikut itu. Tadi gue sempet nulis, tapi belom kelar. Gue masih gak
ngerti, mana kata-kata yang tepat untuk tulisan pengisi surat itu.
Guru
pendamping gue bilang,
‘Tumpahin
aja semuanya. Curhat tentang isi hati kamu.’
Iya
sih, tapi gak curhat ke Presiden juga kan ya?
Nah, kelar bahas itu. Lagi. Yang
kayak gue bilang tadi, lagi banyak tawaran sukarela menulis. Banyak orang
bilang bahwa gue amat sangat teramat sungguh berpotensi dalam dunia menulis.
Gue bisa jadi penulis besar, kata mereka.
‘Nah,
terus apa yang salah, Lex?’
Ini
sangat masalah. Ini sangat beban. Ketika lo bisa melakukan sesuatu, tapi itu
bukan keinginan lo. Bukan hidup lo. Bukan gaya lo. Dan orang-orang terus
memojokkan lo pada titik itu. Titik lo harus masuk ke dunia yang bukan hidup
lo, hanya karena sekedar lo mampu.
Ini
yang menjadi keresahan gue belakangan ini. Ketika gue disebut-sebut sebagai
penulis.
Mungkin,
gue berbakat di sini. Tapi, ini bukan kemauan gue. Impian gue bukan ini. Ini,
yang harus gue pikirkan. Tuntaskan. Kikis hingga menjadi kerikil pikiran.
Kecil, tak bernyawa. Tak berarti untuk melukai hati.
Dah.
Kelar masalah itu. Selebihnya, itu akan gue pikirkan pribadi.
Lalu,
ada kabar penting. Melihat kondisi wordpress gue yang ternyata gagal. Dalam
artian gue yang menelantarkan. Ada tawaran yang bisa gue pertimbangkan. Dia
ingin gue mengurus kembali WP itu, dengan bantuan dia. Untuk bangun sebuah
rumah untuk barisan ayat puisi.
Temen
sekolah gue. Dia pengen gue untuk bantu dia. Yang nyatanya adalah, dia yang
amat membantu gue, jika rencana ini berjalan. Gue udah 80% deal dengan pikiran
sendiri. Kendala terbesar adalah, malas.
Ini,
gue harus melakukan hal yang sama seperti beban pikiran tadi. Gue harus
mengkikisnya secara tajam.
Mungkin,
mulai bulan depan. WP gue akan bangkit dari tidur panjangnya. Dan, 50 persen
dari itu akan disabotase oleh seorang penulis, salah satu idola gue. Temen
sekolah gue.
Yang
kalo pulang, pas di angkot bareng gue. ‘Memaksa’ hati gue agar tidak turun dari
angkot. Ketika satu atap dengan dia di angkot, gue ingin jarak yang gue tempuh
berkali-kali lipat dari aslinya. Hanya agar bisa bersama dengannya. Bukan untuk
apa.
Hanya
asik aja ngobrolin tentang bait-bait puisi. Atau rima yang cocok untuk sebuah
tulisan. Atau berdebat antara penyair lama. Yang mana, gue adalah penikmat
sejati Chairil Anwar, seseorang yang mengaku bukan binatang jalang. Dan dia,
seorang penggemar Gibran.
Gak
pernah ada kecocokan antar Anwar dan Gibran. Begitu pula gue dan dia.
Si
tukang sabotase.
0 Saran:
Post a Comment