Tuesday, January 23, 2018

Bibirmu Anganku

Listen to this, please.

Jangan kau beri harapan padaku
Seperti ingin tapi tak ingin. 

Ini merupakan 24 jam pertama sejak Keti membalas pesan dari gue. Perlu diakui, ini meruipakan salah satu 24 jam terberat yang pernah gue alami.

Hari ini dia melintas di kelas gue lagi. Gue melihat, dirinya yang beradu pandang dengan seseorang yang tengah di duduk di pojok ruangan.

Toh, Keti udah nggak perduli lagi. Tulisan - tulisan ini juga nggak akan ada artinya apa - apalagi. Mungkin, dia bakal kemari juga nggak.

Jadi ya gini. Nasib seseorang yang patah hati. Semuanya dihabiskan sendiri. Pantas ya, intensitas makan membengkak. Bawaannya laper terus, tapi nggak ada mood makan sama sekali.

Hari ini, gue yang harusnya ada 2 ulangan, jadi satu. Biologi yang dicancel. Baguslah. Satu lagi, Bahasa Indonesia. Sulit sih. Pengen banget gue kabarin Keti, menggunakan topik itu sebagai basa - basi. Ngasih tau soal. Ngasih tau jawaban yang mungkin membantu. Tapi lagi, mungkin sudah ada ( dan lebih berhak ) memberi tahunya. Lagi, gue pupus.

Perasaan nikmat jatuh cinta yang telah gue damba-dambakan selama dua tahun setelah kepergian Joni, justru berakhir na'as bagi gue. Jatuh cinta kali ini dibuka dengan patah hati. Entah senengnya di mana. Paling - paling, seneng sama perlakuan Keti yang menyenangkan. Yang menyebalkan juga ada. Yang paling menyebalkan, dia masih suka ngeyel sama bentuk tubuhnya. Denger - denger dia tengah berusaha keras melakukan diet terhadap tubuhnya yang telah sempurna.

Gak kerasa, hari ini juga menajdi hari pertama sejak pesan snap gue terkirim tanpa balasan, mengakhiri streak yang tak seberapa. Huuuuuuuuu huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu

Hari ini capek banget, di mana gue harus mengikuti latihan Akuntansi dan Ekonomi secara terus - menerus. Kepala sama hati lagi nggak sinkron. Ditambah, sejuta tugas yang menumpuk. Yang lagi, males banget untuk gue sentuh. Rasanyaaaaaaaa sangattt menyebalkan.

Pulang latihan, gue melihat rombongan kelas Keti.

" Keti mana ? "

" Udah pulang. "

" Yah. "

Percakapan itu gue tanyakan pada seorang sosok elf di sekolah. Lutju. Menyadari kenyataan bahwa Keti memang selalu dijemput tepat waktu, gue percaya. Gue pulang menerobos hujan.

Pulang sekolah, langsung mencari - cari hape. Idupin. Nggak ada kabar dari keti. Seketika, hari berat menjadi sebegitu beratnya.

Hingga akhirnya, gue berada di sini. Di depan komputer, di dalam rumah pribadi gue ini.

Mencoba merecount semua hal yang telah terjadi pada gue belakangan ini. Semuanya tentang patah ahti.

Apalagi semalem, adalah malam terpanjang di 2018. Gue nggak bisa tidur. Parah. Apalagi jam sepuluh. Ketika gue baru kelar mewek dan pengen mandi. Ketika mandi, tiba - tiba mati lampu. Gue yang notabene dominan untuk tinggal sendiri di rumah merasa parno parah. Suara langkah kaki dari luar gue denger jelas dari dalam kamar mandi.

Mau keluar nggak berani. Dengan flash hape seadanya, takut pas buka pintu langsung menyorot sosok halus secara terang - terangan yang telah menanti gue di balik pintu kayu.

Gue buka.

Kosong.

Baguslah.

Gue ngibrit ke kamar. Ambil gitar, coba - coba nyanyiin lagu Menghitung Hari. Alhasil, hari yang udah rusak, makin rusak. Gue letakan kembali gitar. Bermain catur melawan diri sendiri menantikan lampu menyala.

Lampu menyala. Orang rumah masih belum pada pulang. Keti juga belom ngabarin. Akhirnya, rasa rindu terhadap sosok kucing tersebut gue habiskan sendiri. Gue lahap habis dengan menyaksikan Forrest Gump untuk kesekian kalinya. Forrest Gump, film yang pernah gue minta Keti untuk tonton. Entah, udah atau belum. Tapi gue yakin, Keti bakal memenuhi permintaan gue itu. Entah kapan.

Entah apa, entah kapan.

Biasanya, kalo lagi patah hati kayak gini, tangan - tangan puitis kembali ke luar dari dalam diri gue. Udah gue buat sih, tinggal record. Tapi masih sibuk memikirkan tugas yang menumpuk.

Selain itu, ada hal lain yang gue ingin ceritakan di sini. Tak lain, kawan.

Temen - temen yang mengetahui gue yang tengah patah hati langsung menyerbu gue berbagai pertanyaan. Nasihat dan lain - lain dilontarkan. Tak jarang, ejekan tentang gue yang nggak berhasil dapetin Keti. Gue nggak berkutik, sialan.

Gue cuma bisa bilang,

" Belom nyerah geh. "

" Bentar lagi paling. "

" Masih lama dong. "

" Lah, komunikasi aja nggak gimana bisa ? Gimana coba caranya ? "

" Dengan percaya. "

Gue percaya Keti nggak sejahat itu untuk membiarkan gue membusuk dengan hati yang rusak, dan, Tuhan juga nggak akan setega itu membiarkan gue selamanya menelan pil pahit berulang. Sekali - sekali Tuhan bakalan kasih air segar untuk meluruskan segala pil pahit. Gue percaya.

Di antara lima temen yang ngabarin, ada satu. Kawan gue sejak esde. Ngajakin nonton rabu nanti. I'll treat, katanya. Gue yang sedikit bingung,

" Dalam rangka apa ? "

" Ya gapapa. i know you have some rough times bro. "

Dari situ, gue percaya. Temen adalah segalanya.

Oiya, cerita tentang hari ini lagi.

Di akhir jam pelajaran, ada pihak ketiga yang datang ke kelas. Alumnus sekolah, sekarang tengah fokus berjuang di FK UNDIP. Cewek. Cindy namanya. Pas masuk, satu kelas sepuluh ipe'es empat langsung histeris. Biasa, nggak pernah liat barang bagus.

Cantik sih, gue suka sama bibirnya. Minta disentuh. Pake bibir juga. Nah.

Nggak - nggak. Ada hal lain yang lebih penting ketimbang otak mesum gue.

Di sana, sosok Cindy cerita banyak hal tentang perkuliahan. Lagi, tentang bagaimana kuliah sangat membantu initial step dalam kesukesan. Kembali menyadarkan gue bahwa kuliah itu penting. Menjadi suntikan semangat demi tetap menjunjung tinggi prestasi di sekolah.

Semuanya, hari ini dan kemarin mungkin adalah hadiah dari semesta. Mati lampu, suara gitar, suara horror ( suara gue ), teman, Cindy, kuliah, dan bahkan Keti, semua menyadarkan gue bahwa hidup gue bukan cuma tentang patah hati. hidup gue jauh lebih besar di depan sana. Perlu gue perjuangkan perlu gue nikmatin. Sadar bahwa Keti bakalan end up di tempat yang nggak akan bisa manusia tolol kayak gue sentuh, makin menendang gue ke arah yang lebih jauh.

Kadang, kita cuma perlu satu mata untuk melihat dari angle yang lain. Tapi dibutuhkan tak cukup satu hati untuk melihat dari perspektif lain. Harus kuat, harus tegar. Nggak boleh cengeng. Nggak boleh ngambek.

Harus melihatnya dalam skala yang lebih besar, kayak bibir Cindy. Ce'ilah.

0 Saran:

Post a Comment