Thursday, January 11, 2018

Perempuan yang sedang ngidam apel.



Sebagai seseorang yang tinggal di Sukaraja City, sebuah tempat kecil nan terpencil di salah satu sudut kota Bandar Lampung. Juga sebuah tempat tinggal yang bukan perumahan, gak jarang, malem - malem dipenuhi oleh ketukan tak teratur dari tukang - tukang dagangan.

Itu yang gue suka, dan menjadi alasan terkuat gue untuk enggak pindah rumah.  Padahal, ga pindah karena gak punya tempat tinggal lagi aja.

Lanjut.

Di antara dagangan - dagangan yang lewat, sejak kecil, gue cuma sekali melihat penjual keliling wanita. Ibu - ibu, jual kue putu, dulu banget. Sisahnya, laki semua. Soal jajanan tekwan dan berkuah, biasanya dibabat habis oleh bapak - bapak. Sedangkan, deretan sate, dikuasai secara merata oleh anak - anak muda.

Gue, yang notabene adalah seseorang yang suka bercerita, juga amat senang mendengarkan cerita hidup orang lain. Banyak, kejadian sedih yang ada di hidup - hidup mereka. Tanpa pernah pergi ke luar negeri maupun kota, mereka hidup dengan pertanyaan besar di kepala ;

' Besok makan apa ya ? '

Menyadari hal - hal seperti itu, gue jadi semakin bersyukur dengan segala hal yang gue punya sekarang. Memang enggak banyak, salah satunya, cuma punya Mama yang masih bisa nyediain pisang rebus di kala ulang tahun.

Pernah dulu, tukang sate keliling, Asep namanya. Malam itu, gue yang tengah nonton bola sendirian ( i used to be a football fan) sekitaran pukul dua pagi tergoda dengan mereka yang menyuguhkan kenikmatan Indonesia demi secarik uang.

Si Asep, seorang penjual sate keliling, ternyata merupakan seorang sarjana mesin. GILA ! Dia bilang, dia cuma nggak dapet kesempatan yang sama hanya karena dia berasal dari keluarga yang bukan apa - apa. Yah, orang kaya selalu dipandang lebih.

Umurnya baru 20an, Asep udah bekerja sebegitu kerasnya. Tumpukan tusukan daging belum dibakar masih berlapis - lapis menandakan kerugian pada hari itu.

Gue suka dengan mereka. Selalu menyadarkan gue, gimanapun keadaan gue pasti selalu ada hal yang bisa disyukuri. Mungkin, kehadiran mereka merupakan salah satu cara bagi semesta untuk menampar gue. Yah, sama sih, kayak cinta. Nah kok ke cinta.

Kata seseorang yang telah menulis tentang Analogi Cinta Berdua, ketika kangen kita nggak kita balas, bisa saja itu merupakan salah satu cara semesta nyadarin kita, bahwa tengah ada orang lain di sekitar yang juga, kangen kita, yang juga, gak kita bales kangennya.

Astaga...

Oiya, barusan banget, gue beli Sekoteng. Uenak tenan ! Kali ini sambil hujan rintik. Ada satu hal di sini yang membuat gue merasa naif banget kalo enggak langsung menulis ini.

Yang jual Bapak - Bapak. Bajunya basah kuyup, letih banget kelihatannya. Sambil memasukan potongan roti tawar, dia nanya gue

" Dek, tau Apel gak ? "

Karena guer curiga, gak mungkin apel yang ditanyakan adalah apel yang, ya apel.
Gue memberikan pengejaan yang berbeda

" Tau. Apel atau Epel  ? "

" Henpon "

Sudah kuduga.

" Iya Pak tau, kenapa ? "

"Mahal ya Dek ? Anak perempuan saya minta. "

"Yah, agak gak masuk akal sih Pak harganya. Bapak mulai keliling dari jam berapa Pak ? "

Sambil meracik 'pacar cina', dia jawab.

" Jam satu siang, sampe nanti subuh Dek. Terus bikin bahan lagi, masukin kulkas, tidur, siang kerja lagi. "

" Yaampun Pak. Gak cape tuh ? "

" Demi anak. "

" Umur berapa Pak anaknya ? Saya tebak, SMA ya, lagi demen - demennya tuh Pak begituan. "

" Iya. dek kelas 2 SMA. Saya kemarin nanya ke toko hape, mahal juga ya dek. Saya kira cuma dua juta."

" Yah gitu deh Pak. Semangat ya "

Gue ke dalam. Ambil selembar sepuluh ribuan. Hasil nabung uang jajan hari ini. Gue rela, gue tuker dengan semangkok sekoteng demi Apel anaknya. Yang tadinya, gue ingin bayar pake uang Nyokap, gue balikin. Gue pengen aja beneran bantu dengan cara membeli dagangannya. Well, dari awal gue juga yang emang lagi kepingin makan sekoteng.

Gue ke kulkas. Sempet - sempetin. Berdoa semoga menemukan sesuatu yang gue cari. Dan, ketemu. Lagi, Semesta selalu punya cara yang keren untuk setiap orang.  Gue nemu Apel.

Gue ke luar, kasih uang sepuluh ribu dan satu apel. Bapaknya bingung, tapi kelihatan banget dia bahagia. Gue ikut bahagia.

Gue sedikit tertegun, sadar apa yang telah gue lakukan barusan. Tiba - tiba, gue merasa rendah di hadapan Tuhan. Langsung mengucap syukur atas pecel yang masih bisa gue makan hari ini, juga sekoteng hangat kesatria pelawan hujan.

Bunyi ketukan yang tak beraturan kembali terdengar. Seuntaian kata Terima kasih keluar dari Bapak Sekoteng. Hujan mulai mereda, tanda keperdulian langit atas usaha seorang Bapak. Bulan makin ke atas, bintang semakin terang. Seorang pejuang bagi anak seraya pergi bersama gerobak, melanjutkan dagangan.

1 comment: