Gue percaya bahwa ada hal yang lebih penting daripada menjadi pinter, yaitu, dianggap pinter. Kedengerannya agak bodoh, tapi itu beneran. Gue alamin sendiri. Gue yang dengan catatan, bego parah di SMP, berhasil merubah pandangan semua orang di SMA. Eh, berhasil enggak sih ? gue rasa iya.
Di SMA, gue dianggap pintar. Padahal... Sudahlah.
Orang - orang mikir kerjaan gue di rumah belajar, lah, buku aja gue tinggalin semua di kelas. Gue nggak pernah nyentuh buku untuk belajar di rumah, atau ngerjain PR di rumah. Di sinilah titik aneh terjadi.
Orang - orang nanya kenapa gue bisa pinter, gue rasa, jawaban yang paling pas adalah, gue bisa pinter karena ada orang bodoh, yaitu, yang nanya kayak gini...
Gue merasa semua orang adalah pinter dan baik adanya, cuma terkadang, orangnya aja yang goblok.
Gini - gini,
Kalo kata Pandji Pragiwaksono bego itu ada dua jenis,
Satu, yang bodoh. Bisa diatasi dengan disiplin, dan kerajinan, terutama, kesadaran diri.
Kedua, yang goblokkkkkkkkkkkkkkkk ( K = 16 ) yang udah nggak bisa diatasin gimana - gimana lagi.
Gue selalu percaya bahwa gue adalah orang bodoh, yang mau nggak mau harus belajar. Ujung - ujungnya, orang nganggep gue pinter. Hanya karena, gue merasa bodoh.
Bingung.
Lanjut ke pembahasan sebelumnya, bahwa, yang lebih penting adalah dianggap pinter. Yah, itu benar adanya. Gue yang dulu iri banget sama orang pinter, karena, perlakuan guru - guru selalu berbeda terhadap mereka. Sekarang, gue merasakan itu semua.
Gak jarang, gue nggak berada di kelas dan malah ada di perpustakaan. Tentu gue izin, dan selalu dibolehin. Sedangkan, mereka yang dianggap bodoh, ke toiletpun butuh perizinan yang dipersulit. Pasti kalian mengerti.
Selain itu, gue juga seneng dianggap pinter karena, setidaknya, pandangan orang - orang (cewek) bisa menjadi lebih baik ke gue.
Kayak sekarang, gue bisa merasakan pandangan orang - orang melihat gue kayak
" Wih, Alex, pasti mau ke perpustakaan, belajar. "
Beda sama dulu yang kayak,
" Wih Alex, pasti mau nyopet. "
Enggak semenyakitkan itu sih.... Tapi kira - kira gitu.
Selanjutnya, terlepas dari itu semua, ruang kepala belakangan ini dipenuhi oleh pertanyaan dari temen - temen sekitar. Menanyakan kapan gue bakal ambil langkah ke arah Min.
Jawabannya adalah, pernah. Iya, udah pernah. Nggak pernah lupa, 3 Oktober, yang gue percaya sebagai hari ulang tahun gue, dan harus ada sesuatu yang spesial, gue kontak Min. Itu doang ceritanya. Iya, sampai sekarang enggak tau nasib kabar itu gimana. 3 Oktober selain membuat gue tambah tua, juga bikin kecewa.
Memang, gue yang bukan siapa - siapa nggak bisa berharap apa - apa.
Tapi itu dulu, kalo sekarang, gue yakin Min, gak mau juga.
Yah gue sadar, seandainya gue di posisi dia juga, mana mau cerita cinta gue bakal bertema beauty and the beast.
Tapi enggak apa - apa, rasanya saya lebih nyaman kalau kamu enggak sayang sama saya hari ini. Karena, kalau besok kamu sayang, saya bakalan siap. Beda kalo, hari ini kamu sayang ama saya, dan besok tiba - tiba kamu enggak. Demi langit, saya bakalan nangis.
Temen - temen selalu nanya
" Jadi kapan sama Min ? "
" Nanti, kalo enggak ujan."
Kira - kira, itulah jawaban yang selalu gue beri.
" Kalo ujan ? "
" Istirahat. "
" Kalo mendung ? "
" Itu lagi sayang - sayangnya. "
" Kok gitu ? "
" Siap - siap mau istirahat. "
Pun, gue pribadi, Alexander, telah menjadwalkan semuanya. Dengan harapan, Min akan sabar menanti.
Juni tahun ini aku akan menjalani fase sayang - sayangnya sama kamu. Mei nanti, adalah persiapan untuk kita berdua menyambut Juni. Entah kamu bakalan nemenin aku sayang di Juni, atau enggak. Yang jelas, November nanti kita jadian. Satu hal yang nggak boleh kita berdua lupain, kita bakalan putus Desember tahun tiga ribu.
Jadwal bisa saja dipercepat, tergantung Global Warming.
0 Saran:
Post a Comment