Monday, April 23, 2018

Jatuh Cinta di Depok.

Kali ini, adalah tentang sebuah tulisan ke sembilan puluh delapan. Tentang bagaimana masa tahun pertama di SMA.


Tepatnya, tentang satu hal yang mengesankan dan terlebih, tentang mereka - mereka yang terlewatkan.

Singkat cerita, ini adalah tulisan mengenai perjalanan hidup sang penulis satu minggu di Depok.

Mereka yang terikut sertakan dalam cerita ini, seperti :

Depok, bakal selalu jadi kota yang saya ingat. Terlebih, kamu membuat saya berbunga - bunga. Juragan Sinda, juga akan menjadi hal yang tak terlupakan, sejak dialah yang melindungi ketika hujan dan butuh istirahat ( Tinggal bilang kostan aja susah amat ). Saya juga berbicara dalam tulisan kepada Universitas Indonesia, yang akan menjadi salah satu tempat bersejarah bagi masa remaja saya, bagaimana kamu berhasil menjadikan diri saya sebagai pribadi yang lebih giat belajar demi kamu. Tapi terlebih, tulisan ini untuk kamu, Romilda. Percaya atau tidak, kamu adalah sosok obat ketika aku tidak menang kemarin. Teruntuk Romilda, kamu juga yang melawan kebosanan. Terimakasih atas ratusan postingan di akun Instagram-mu telah sedia melawan kantuk malam bersama saya. Percaya atau tidak, ini tentang kamu.

Alex memang begitu, sok romantis. Mending mukanya cakep, ya kan ? Ngomong - ngomong, sebelum lanjut cerita soal Romilda, gue ada satu pernyataan. Yang juga pernah gue tweet-in di Twitter lalu tenggelam di antara tweet lainnya, hingga gue tak bisa menemukan untuk dijadikan barang bukti dalam tulisan ini.

" Mereka yang ganteng dan cantik adalah makhluk paling beruntung di dunia ini. " 

Terlebih, karena mereka selalu punya kemudahan dalam berbagai hal. Gimanapun juga, mereka memang diciptakan untuk membuat kaum jelek iri ( gue ). Contoh singkat, ketika masih SMP, ada satu orang cewek yang gue dan temen gue saling perebutkan. Gue yang berusaha untuk mendapatkan justru kalah dengan dia yang hanya diam ( tapi ganteng ). Lalu, berakhirlah mereka sebagai pasangan yang bahagia di SMP. Gue ? berakhir di blog ini lagi. Untuk menulis, untuk mengingat, untuk bersenang - senang. Ada juga yang bilang bahwa mereka prefer cowok lucu ketimbang ganteng. Gue enggak percaya. Sekarang gini deh, kalian pilih Zayn Malik atau Azis Gagap ? HAH ?!

Hihihihi.

Satu hal lagi, tulisan kali ini beda. Terlebih karena gue menulis ini di kamar kost pertama gue. Juga nulisnya di laptop mahalan. Enggak tahu ini apa namanya, tapi di belakangnya ada apel yang keroak. Punya temen kost gue di kamar sebelah. Laptop yang kamera webcam mahalnya tertutup oleh solasiban hitam. Katanya, takut diintai secara diam - diam. Inilah, kebanyakan nonton tipi memang enggak bagus.

tempat nulis

Kamar Kost

Lanjut.

Sekitar beberapa hari yang lalu, lomba debate gue mulai. Yang gue rasakan ketika melihat para saingan adalah : astaghfirullah ! enggak apa - apa kalah, asal jangan malu - maluin. Gimana enggak, banyak banget Bule nya. Banyak banget manusia berkacamata sebagai tanda mereka pintar.  Gue dikerumuni oleh debaters lainnya. Sekitaran pada ngomong bahasa inggris. Yah, jujur - jujuran aja, inggris gue enggak terlalu bagus, apalagi di listening.  Beneran, banyak bule nya. Terlebih, mereka yang datang dari sekolah Gandhi. Wajah - wajahnya jelas berdarah Pakistan dan sedaerahnya. Ada yang cantik, ada yang lebih mirip unta. Dari mereka, ada juga yang manis, ada yang lebih mirip Rikishi. Bagi kalian yang enggak tahu, yasudah enggak usah googling, menyesal kalian.

Ada juga perwakilan dari sesama daerah gue, SMAN 2 Lampung. Soal mereka yang lolos dan terus menang sih bukan hal yang istimewa bagi gue, mereka emang bagus. Harus gue akui. Di sisi lain, ada yang dari Bandung, Jakarta, Tanggerang, bahkan Kupang. Untuk yang dari Kupang, gue baru tahu dan sadar, itulah definisi dari ' semangat '. Ada satu lagi, dari Malang.

Sekolah St. Albertus. Mereka mengirim dua tim. Salah satunya bertemu dengan gue di babak ketiga, salah satunya lagi ( yang gue harapkan ) jatuh cinta dengan gue sejak babak satu. Dari sana lah, Romilda berasal. Sosoknya adalah malaikat blaster darah Belanda - Indonesia. Lahir di Surabaya, 7 Februari dengan bintang kejora di ufuk timur. 

Bagi gue, St. Albertus adalah sekolah yang paling gue kagumi di perlombaan kemarin. Salah satu timnya yang bertemu dengan gue adalah saudara kandung. Tiga dari mereka benar adalah saudara kandung, dua di antaranya kembar. Mirip banget, sampai gigi gingsul nya pun sama. Heran. Heran tapi manis.

Tim yang lainnya, berisikan mereka yang berstatus sebagai senior. Berisikan dua sahabat kental tak terpisahkan. Romilda, Annas. Informasi yang gue dapat ini, tak lain dari usaha melawan kantuk semalaman.

Romilda memang tidak menang apapun. Tapi bagi gue, dia berhasil memenangkan hati gue. Dan patut dihargai. Maka dari situlah rencana nonton bioskop gue ama dia gue lambungkan tinggi - tinggi. Jangan - jangan dia mau. Tapi kayaknya, enggak.

"Rencana nonton ? Gila ya lu !" said every readers on this post.

Mengajak dirinya nonton mungkin memang adalah hal yang gila. Tapi bagi gue, penolakan dari dirinya lebih baik ketimbang gue harus merelakan dirinya menjadi Yang Terlewatkan. Gue rasa, selama ini Alex sudah menjadi sosok yang begitu bodoh. Jatuh cinta pada seseorang, tidak berani mengatakan. Lalu hilang begitu saja bersama waktu. Maka, mereka - mereka itulah yang sampai saat ini terlewatkan. Seperti sosok wanita SMP yang sekarang sudah di Medan. Salah satu penyesalan terbesar. Maka, dengan itu semua, gue putuskan untuk menjadi gila. Setidaknya, gue tidak akan gila karena penyesalan.

Tapi, kok cerita nya kayak loncat gitu ya ? Kok tiba - tiba bisa ngajak nonton ? Iya memang udah dijelasin, tapi kok bisa ya ? Emang udah kenalan ? Emang udah resmi kenalan ? Emang udah saling pollow pollowan di sosmed ? Pertanyaan seperti itu mungkin muncul dan belum terjawab. Ada satu yang sudah terjawab, Emang udah cinta ? Ya udah lah.

Jadi begini ...

Di antara mereka yang bule - bule itu, gue menemukan sosok Romilda. Dari awal, gue memang begitu bodoh dan lemah. Gue hanya berani menatap matanya sesaat dia tengahh asik bersama temannya. Ketika dia melihat gue, buru - buru pandangan itu gue hapus. Dan terjadi begitu terus menerus. Ada satu moment di mana semua peserta berkumpul di ruangan. Romilda dan kawan - kawan yang datang terlambat tak mendapatkan kursi. Gue rasa itulah saat yang tepat bagi gue. Saat itu mereka berada tepat berdiri di belakang gue. Gue putar badan, gue tatap mata mereka dalam - dalam. Mulai bangun, mengatakan dengan pasti : " Nih duduk di sini. ". Yang lalu dibahas oleh mereka : " Enggak usah. ". Lalu ada hati yang patah.

Temen - temen tim gue langsung pada ikut campur, " ditolak ya lex haha ". Yang lalu gue bahas dengan selaki - laki mungkin. " Hah ? enggak. Sengaja, gue mau ke toilet. " padahal gue udah pipis tiga kali saat itu. Lalu berakhirlah gue dengan alasan yang secara ajaib tercipta : pergi ke toilet. Posisi toilet cowok dan cewek di fakultas ilmu kesehatan / kedokteran memang bersebelahan. Di toilet fakultas kesehatan ada satu hal yang tak gue sangka : Romilda ada di depan. Entah lagi apa, rasanya tengah menunggu rekan setimnya. Namun yang jelas dia hadir bukan karena gue. Dia tengah meratap ke sisi lain fakultas kesehatan. Tinggalah gue yang membelakangi dirinya. Ingin sekali gue datang, mengajak bertukar nama lalu perasaan. Semua imajinasi itu muncul di kepala tanpa ada yang terealisasikan. Hingga gue terhenyak, lalu kembali ke ruangan bersama kepecundangan dalam diri gue.

Kali itu, gagal.

Setelah itu, berakhirlah gue dan peserta lainnya di pengumuman tim saipa yang berhak lolos ke babak selanjutnya. Selagi menunggu, ini yang hebat. Ini yang Tuhan janjikan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Serius. Gue yang memang merasa akan menjadi sosok paling tolol dan goblok se Indonesia kalau tidak kenalan, nekat modus. Saat itu, tim St. Albertus tengah bersama - sama duduk membentuk dua banjar tak beraturan. Yang gue tahu adalah, gue kenal dengan mereka  si kembar. Yasudah, tak lama - lama lagi. Tapi memang Alex adalah manusia paling cemerlang.

Gue tinggikan nada berbciara kepada mereka para si kembar, agar terusik lah mereka lalu menaruh sedikit perhatian kepada gue yang tak boleh gue lewatkan.

" Kalian gimana tadi ? " Kata gue dengan lantang pada si kembar.

Rencana gue berhasil. Salah satu dari tim lainnya notice gue. Lalu gue tatap, gue katakan dengan indah : 

" Kalo kalian, Namanya siapa ? " 
" Annas. " 

Kami berdua mengajukan tangan masing - masing, bersalaman.

" Alex. "
" Siapa ? " Gue rasa Annas tidak mendengar dengan baik.
" Alex. "

Gue kira, nama gue bakal diketawain. Mungkin saja itu terjadi, gimana kalo ternyata Alex adalah nama kucing peliharaan dia ? atau gimana kalau nama Alex adalah ternyata seekor anjing betina yang kena pergaulan bebas di komplek perumahan ? Yang kalo bunting, melahirkan, lalu ditinggal tanpa ada tanggung jawab dari pihak jantan. 

Tapi ternyata enggak, memang enggak kedengeran saja.

Lalu sampailah pada moment kebenaran.

" Kalo kamu namanya siapa ? " Kata gue ke sosok yang saat itu gue beneran enggak tahu namanya.

" Romilda, but it ' is kind of a hard name to say. Wait... " Kata dia dengan manis.

Diikuti oleh dirinya yang langsung bergegas mengambil telepon genggam. Tak lama, dia memberikan hape tersebut ke gue. Tertulis 'Romilda' di memo yang ia sengaja buatkan untuk gue. Lalu gue menafsirkan bahwa ia seperti meminta nama gue.

Kami menyodorkan tangan masing - masing. Bersalaman. Bersalaman. Bersalaman. Bersalaman. Bersalamaaaaaan. Satu moment penuh kehangatan mempertemukan tangan lembut dirinya dengan gue. 

" Alex. "
" Romilda. "

Kata di atas resmi terucap ketika sepasang insan tengah berjabat tangan.

Gue juga mengira, nama gue bakal diketawain. Mungkin saja itu terjadi, meski nama kucing kesayangannya adalah Coco, itu semua tetap bisa terjadi. Mungkin saja, dia tertawa akibat kegirangan telah menemukan dan berjabat tangan bersama masa depannya. Bisa saja, kan ?

hihihi.

Lalu tak lama tim gue ikut datang. Saling berkenalan. Lalu kami semua berbincang satu sama lain. Di antara perbincangan yang terjadi, gue hanya bersyukur dapat menikmati kesempurnaan dari dekat. Satu langkah inovatif yang perlu gue hargai dari salah satu tim gue :

" Do you guys have instagram account ? "

" Oh yeah yeah yeah." Kata mereka.

Sebelum lanjut cerita, ada satu hal yang mau gue sampaikan kepada temen gue : MAKASIH LOH YA.

Lalu semua pada bertukar instagram. Gue hanya menyodorkan kepada satu pihak, Romilda.

" Minta instagramnya juga dong. "

" Enggak usah, susah. Nih... "

Untuk kedua kalinya gue memegang Hape dia. Dia meminta dan mengalah, untuk membiarkan dia mem-follow akun gue duluan. Lalu gue temukan, entah apa yang ada di hidupnya, tapi instagramnya penuh dengan bahasa asing.

" Ini kok kayak gini haha. "

" Iya itu bahasa belanda haha. " diikuti sedikit tawa kecil yang tak pernah bisa gue lupakan.

Gue juga sempet nanya sedikit ketika saling ngobrol. Ternyata, dia memang sudah fasih berbahasa indonesia. Spesialnya, dia juga fasih berbahasa jawa, inggris, dan belanda. Bahasa jawa ? fiuh....

Lalu pengumuman tim yang lolos sudah tiba.

Gue kembalikan hapenya, lalu bersiap - siap menunggu kekecewaan. Sebelum pergi, gue katakan pada dirinya : " I will follow back later. "

" Iya, iya. " Sambil mengangguk.

Lalu gue pergi menjauh mengambil posisi terenak menerima kenyataan pahit tim gue tidak ada si daftar tersebut. Dari jauh, gue mlihat Romilda dengan lekuk kecil, tersenyum tidak sedih walaupun kecewa ketika menerima kenyataan yang sama seperti gue.

Selanjutnya satu ruangan ricuh terhadap mereka semua yang senang lolos dan mereka yang tak lolos, langsung mencari para juri menanyakan kenapa. Hingga gue, berakhir di kostan ini lagi. Malam - malam bersama cinta.

Ruang kepala mulai dipenuhi oleh sosok bidadari dari malang. Jujur, pertama dan terakhir kali gue ke malang adalah ketika Study Tour SMP. Jujur gue kangen suasana di sana. Beneran. Apalagi Batu Night Spectacular. Apalagi setelah ini, Romilda. Perasaan gue pengin pindah ke Malang makin menjadi - jadi, ah dasar.

Lalu,

Tapi memang sudah digariskan begitu adanya, Alex adalah manusia paling cemerlang sekaligus goblok. Ia kembali memberikan beberapa pesan melalui direct message kepada si Kembar. Tentang rencana nonton.

Padahal, ya kalian tahu lah, apa maskud gue.

" Ajak yang lain ya. Biar kita ramai - ramai, kan asik. "

Padahal, sebetulnya. Si kembar hanya perlu membawa satu orang. Siapa lagi ?

Tapi memang Alex juga digariskan untuk selalu menerima penolakan dalam hidupnya. Mulai saat ini, kalianlah yang akan melanjutkan ceritanya. Gue nggak kuat menulis lebih lanjut tentang penolakan ini. Biarkan diri kalian menerka sendiri apa yang terjadi.

Bagi gue, penolakan adalah selalu tentang pembelajaran. Dan pembelajaran adalah segalanya tentang memperbaiki. Tapi, setelah sebegitu banyaknya penolakan dan pembelajaran, mengapa masih ada mereka yang terlewatkan ?
Read More

Sunday, April 15, 2018

Lost In Time



Ini adalah pukul sembilan lewat, satu hari setelah pengalaman mengagumkan. Kalau ingin diceritakan sejak awal, baiklah. Saya mengalah untuk menceritakan. Toh, saya suka bercerita.


Semenjak sebulan lalu, bagi mereka yang memperhatikan atau diperhatikan sekolah tersulap menjadi layaknya stasiun kereta. Calo di mana - mana. Heran. Jelas sekali, sejak sebulan lalu adalah hari - hari menjelang tugas tahunan angkatan kelas dua, Teater.

Bagi mereka yang memperhatikan, mungkin hari - hari di sekolah butuh sedikit bumbu action. Tak lain tak bukan, demi menyelamatkan uang jajan dari jahatnya para calo yang menyamar atas nama kelas dua. Ketika jam istirahat, ada yang pura - pura tidur ketika melihat gerombolan calo, ada yang langsung ngibrit ke toilet entah karena kebelet, atau lebih memilih mati diracun aroma toilet ketimbang membayar lima belas ribu. Gue ? tetep ke perpustakaan. Biarin, walau di sana tetep ada calo, setidaknya perpustakaan adalah tempat suci bagi gue. Toh, tempat suci tidak boleh dijadikan pusat penjualan ( baca alkitab makanya. ).

Berbeda bagi mereka yang diperhatikan. Yang gue maksud dengan mereka yang diperhatikan adalah, mereka - mereka yang ( bisa jadi ) terkenal atau justru tidak terkenal. Bagi mereka yang terkenal dan diperhatikan harus siap - siap melayani tawaran ajaib dari para calo. Ajaib hanya dengan mengucapkan sebaris kalimat, semua terhipnotis ; " Tahun depan kalian juga begini, awas aja karma ! ". Kalo dipikir memang bener, sialan. Lanjut, bagi mereka yang tidak terkenal, tak perlu takut. Lanjutkan saja segala kegiatan yang tengah dilakukan. Lagi makan ? makan aja terus. Para calo biasanya tidak tertarik menawarkan kepada mereka yang tidak terkenal. Rasanya bukan karena mereka pilih - pilih tapi karena mereka nggak mau dinilai mengganggu atau sekadar sokkenalsokdeket. 

Gue ? ya jelas. Sejelek - jeleknya, gue masuk jajaran mereka yang terkenal. hihihi.

Dalam satu angkatan terdiri dari tujuh kelas, mengartikan bahwa akan ada tujuh penampilan teater. Dijumlah dengan harga tiket, cukup untuk membunuh uang jajan selama seminggu. Cukup banget. Gue beli empat dari tujuh. Mungkin mau beli lagi semuanya. Proses terhipnotisnya gue untuk menambah tiket adalah hasil hipnotis dari teater terakhir yang gue tonton. Jujur, ada dua kelas yang pengin sekali gue tonton. Sampai - sampai, gue ada niatan membeli sebelum ditawari. Setidaknya, ada niat. Kenyataannya, gue lagi dalam perjalanan ke toilet berhasil ditodong di tengah jalan. Toh gue emang mau beli, " Yaudah, catet - catet. " seraya ngibrit ke toilet.

Nama teaternya bakal gue jadiin judul tulisan ini. Sebagai apresiasi gue telah menghantui pikiran belakangan ini. Entah pikiran atau perasaan ? hayoo.

Yang gue tonton kemarin adalah mereka yang dari kelas IPA. Entah kenapa, sejak awal gue kepingin nonton kelas yang ini. Mungkin, karena kelas mereka adalah saksi paling sering misi bolos ke perpustakaan. Istirahat, atau tengah pelajaran gue sering ke perpustakaan. Sebetulnya, gue sering bolos pelajaran. Dan, gue melakukan itu atas dasar kepingin saja. Merasa capek gitu di kelas. Toh gue gak kemana - mana kok. Hanya di perpustakaan. Gue juga nggak takut dimarahin kalau dipergok tengah tertidur di perpustakaan. Sekolah kan melelahkan, apa salahnya gue untuk istirahat sejenak ? Iya nggak sih ? nggak ya ? Yasudah.

Oiyah, tulisan ini juga nggak atas pengaruh siapa - siapa selain diri gue sendiri. No one else but me. Sudah berapa kali gue katakan, bahwa segalanya dari blog ini adalah apa yang mau gue tulis. Meski ada yang meminta untuk menuliskan, tanpa dia suruh juga gue bakal tulis. Tak lain, karena ini adalah pengalaman hidup yang tak boleh terlewatkan begitu saja.

Sebetulnya, gue pengin sekali menilai teater ini secara penuh. Namun, apalah daya gue. Tulisan dari seorang Alex yang bukan siapa - siapa tak akan merubah apa - apa. Jadi, ketimbang jadi apresiator yang lemah, mending menjadi Alex yang kuat. Kan begitu...

Bagi mereka yang sering membaca dan mencerna ( kayak gue ), teater kali ini jelas banget dari judulnya. Lost in Time. Yah nggak jauh - jauh akan membahas sesuatu mengenai waktu. Ditambah, sejak awal penonton sudah disuguhkan dengan beberapa tayangan dan adegan mengenai waktu. Secara singkat, susunan acaranya adalah live music, short movie, teater, dan beribu - ribu live music. 

Di awal, gue sudah takut bahwa ini adalah sesuatu yang nggak worth it. Bukan soal lima belas ribu,   ( karena jika gue harus membayar seratus ribu pun akan gue tonton ) tapi karena waktu itu sendiri. Mereka membahas mengenai waktu, tapi apakah itu worth it untuk ditukar dengan waktu yang gue punya ? Bingung ya, sama.

Sejak awal, gue rasa, bukan cuma gue yang menduga bahwa acara ini akan berjalan tidak sesuai ekspetasi. Terlebih, di bagian Short Movie. Bukan karena jelek, sama sekali bukan karena jelek. Tapi karena nggak cocok. I think, spending the first hour with unguarantee good clasification movie was not a good idea. Gue katakan bahwa gue sangat cinta dengan segala konsep yang ada, termasuk konsep cerita dari film yang ditayangkan.

Tapi tapi tapi.

Gue katakan bahwa itu tidaklah cocok, sederhana karena berbagai masalah teknis itu pasti muncul dan ada. Dari mulai, audio film yang tidak jelas, layar yang kurang lebar, dan lain - lain. Hasilnya, penonton harus menelan pahit - pahit tontonan. Tanpa tau secara jelas cerita akan berlabuh ke mana, ditambah begitu lamanya kehadiran short movie itu, rasanya itu semua adalah faktor yang menjadikan penonton lain menguap di awal - awal.

Jika harus dikatakan seblak - blakan itu, sederhana. Menaruh tayangan amatir yang memakan durasi bukanlah ide bagus. Sekali lagi, semuanya adalah dari kacamata gue yang bukan siapa - siapa. Sekali lagi, bukan karena short movie nya jelek tapi karena tidak cocok. Toh, gue sendiri menikmati dan paham alur ceritanya. Gue juga menikmati kok dan pengin juga punya file nya kalau bisa. Ada satu pertanyaan yang sengaja nggak mau gue jawab secara terang - terangan mengenai kesukaan gue terhadap short movie atau teater nya sendiri.

Suka karena bagus atau karena ada seseorang ? 

haha.

Gue katakan bahwa ini memang bagus ( banget ), tapi gue nggak mau menjawab pertanyaan itu. Sengaja. hihihi

Selanjutnya, adalah bagian favorit dari gue. Teater. KEREN BANGET. SAYA SUKAAAAAAAAAAAA.

Pentonton, setidaknya bagi gue, berhasil diajak untuk menerka - nerka jalan ceritanya ke mana. Ditambah dengan akting, penempatan tokoh, yang tepat menghadirkan berbagai sensasi. Ada satu wanita yang tersulap oleh badana menjadi makin cantik, ada wanita lain dengan bawahan merah jambu serta rambut bergelombang membuat gue tersenyum sendiri, ada wanita lain menyanyikan fight song yang  menyadarkan gue sebagus itu lagu Rachel Platten, ada juga wanita berbaju hijau army dengan ikat di kepala yang membuat gue terhenyak pun terpaku dengan penampilannya, ada juga pria yang ganteng, yang membuat gue jatuh cinta. Loh, kok. KOK.

Mungkin gue nggak bisa jelasin bagaimana semuanya terjadi secara jelas. Meskipun gue beberapa kali mendengar backsound yang tidak cocok ( setidaknya buat gue ), kesalahan teknis, dan lainnya. Tapi peristiwa gue kagum dengan acara ini adalah segalanya proses alami.

Satu - satunya hal yang gue sesali di acara ini adalah mereka yang menonton, kebanyakan adalah bagian dari hidup gue. Maksdunya, mereka adalah orang - orang yang kenal gue, dan gue kenal mereka. Dekat dengan hidup gue, tidak jauh - jauh. Mungkin, ini juga adalah alasan mengapa gue lebih sering diam - diam nonton bioskop sendirian. Orangnya random. Lantas mengapa ? sederhana karena gue dapat mengekspresikan diri gue secara jelas dan terang - terangan. Mau nangis ya nangis, ketawa ya ketawa. Berbeda dengan menyaksikan bersama orang yang kita kenal di sekitar. Kalian paham kan maksdunya ? Jelas, ini sepenuhnya bukan lah salah mereka atau salah siapa - siapa. Hanya memberitahu, okai ?

Satu hal juga yang harusnya menjadi tanggung jawab mereka adalah, gue jadi bimbang untuk menonton teater selanjutnya atau tidak. Di satu sisi gue tidak ingin, karena sadar bahwa dari mereka adalah cukup dan tidak boleh dirusak oleh teater lainnya. Atau, di sisi lain ketika gue kepingin parah nonton yang lain karena standarisasi tak langsung oleh mereka membuat gue percaya bahwa semua teater adalah bagus adanya. Gue sudah beli beberapa yang ingin gue tonton, namun berhalangan. Membuat gue sedih tak mampu hadir. Beberapa hari dari tulisan ini diciptakan, gue akan pergi ke depok. Universitas Indonesia. Untuk mengikuti debate competition. Mengartikan gue berhalangan untuk hadir untuk beberapa teater. Yah, intinya sih, back to reality yang mana, selalu saja melelahkan. Bukan begitu ? Begitu bukan ?

Gue rasa, dengan segala kerja keras mereka, semuanya terbayar. Bagi gue, kesalahan yang mereka buat segalanya adalah acceptable dan tidak merusak seluruh penampilan sedikitpun. Bagi gue, penampilan dan perlombaan adalah hal yang jauh berbeda. Mungkin, itulah mengapa gue lebih suka hadir di penampilan ketimbang perlombaan. Bagi gue, yang harus ada dalam penampilan adalah penghiburan, berbeda dengan perlombaan yang harus ada kesempurnaan.

Bagi gue, kehadiran wanita atas nama merah jambu kemarin sudah sepenuhnya mengisi tengki hiburan yang gue butuhkan. Mereka bukanlah penampil yang sempurna, tapi sangat menghibur. Dan itu cukup.

Menyaksikan dengan kondisi gelap hingga terang di akhir kala teater selesai, menyisakan berbagai perasaan yang tercampur aduk. Bawa perasaan, itukah namanya ? Setelah beberapa waktu gue habiskan untuk memikirkan perasaan apa yang paling tepat, akhirnya gue menemukan. Kemarin, tepatnya ketika menyaksikan teater, perasaan itu jelas sekali muncul. Cintakah ? tentu bukan. Saya beritahu sekarang juga, kemarin, saya sebagai penikmat merasakan satu hal, seimbang.

Read More

Saturday, April 7, 2018

Sendiri adalah bahaya.



Belakangan ini, kemudi hidup serasa hilang kendali. Entah jalan ke mana. Semuanya lewat begitu saja. Aneh. Gue nggak tau bahwa gue dapat berpartisipasi dalam lomba Debate berstandar nasional. Gue nggak tau, bahwa gue bakalan tidur enam jam belakangan ini. Gue nggak tau bahwa Min akan tetap menolak.

Selain semua yanga ada, tulisan kali ini adalah tentang Min. Yang kembali menghantui pemikiran sesaat gue pulang sekolah hari sabtu, baru saja.

Pernah nggak sih, hati kalian yang tengah gundah akan kenyataan tiba - tiba berubah. Entah lebih baik atau lebih buruk.

Hari ini, gue tengah menapaki jalan dari kelas menuju  ke bawah. Tanpa sengaja, semesta mempertemukan gue dengan Min. Di dekat pilar kesiswaan, gue patah hati.

Sesimpel itu. Dari mulai melihat dirinya bersama laki - laki lama nya beberapa jam sebelum itu semua terjadi sampai ke titik ini. Titik di mana Min mengeluarkan sihir kembali. Min memang punya kemampuan spesial ; Mampu membuat orang jatuh cinta tanpa repot - repot. Bahkan, hanya dengan berdiri saja, berhasil membuat gue jatuh cinta. Inilah, curang.

Titik di mana gue nggak tahu harus berbuat apa.

Gue memberhentikan langkah di dekatnya. Sejak awal, jangankan mengambil langkah untuk mendapatkan, berbicara pun seketika menjadi sesuatu yang sulit. Jika memang berbicara kepadamu adalah hal yang mudah, kamu sudah menjadi milikku, saat ini juga ! 

Gue coba untuk berbicara. Tanpa banyak bicara dan antusias yang terbatas, dia hanya menggeleng menjawab pertanyaan dari gue. Mungkin, dia tengah tidak dalam mood untuk berbicara. Hidungnya benar - benar seperti nafas seorang perenang, kembang kempis. Sayangnya, saat kembang ataupun kempis, hidungnya tetaplah cantik.

Seketika gue merasa bahwa dia keberatan dengan kehadiran gue. Tanpa banyak bicara, gue pulang. Ada hari yang mulai memanas, ada langkah kaki yang bergerak, ada hati yang patah. Gue kecewa dengan apa yang terjadi. Dalam perjalanan pulang, di atas motor, gue habiskan rindu dan kekecewaan gue sendiri. Gue lahap habis,

Mungkin dia tengah berbahagia saat ini. Bermain bersama teman karibnya. Tengah karaoke, atau tengah menyaksikan film, atau sekadar makan bakso depan rumah sebagai hidangan sore. Satu hal yang gue yakin, menjadi dirinya adalah suatu anugerah tak terelakan. Gue yakin hidupnya enak. Jika takaran enak adalah manis,maka segala aspek kehidupannya adalah enak adanya. Darimana gue tau ? dari hidungnya.


Sendiri di atas motor, membawa gue ke ujung ruang kepala. Bertanya - tanya apa yang sebenarnya terjadi. Memastikan lebih, bahwa hati yang patah ini esok akan tersusun kembali untuk siap kembali patah. Itulah hati, nasibnya buruk. Hanya untuk dipatahkan.

Sampai rumah, gue menyajikan diri sendiri dengan segelas teh hangat. Gue habiskan bersama jendela yang terbuka. Teh selalu hadir di saat - saat seperti ini. Sendirian di rumah membuat gue terpaksa diam tak bersuara. Tak tahu siapa yang harus diajak berbicara.

Jika Min adalah teh, pada hari ini akan gue pesan segelas teh untuk selamanya hangat. Agar seperti apa yang terjadi ini, tetaplah terjadi. Seperti kepulan asap teh hangat siang hari ini, harapan - harapan gue terhadap Min seakan ikut menari - nari. Tak lama, hilang termakan udara.

Menyeruput sedikit demi sedikit, mencoba mereka ulang semuanya.

Bertanya - tanya apa yang membuat dirinya menjauh atau risih atas kehadiran gue. Mungkin, karena baju pramuka hari ini, mungkin karena dirinya adalah malaikat, mungkin karena kami jauh berbeda, mungkin karena gue jelek, mungkin karena gue bukanlah sosok yang diharapkan, mungkin karena somay perlu bumbu, mungkin karena bunga selalu layu, mungkin karena perjuangan adalah cerminan dari kesia-siaan, mungkin karena Rangga adalah lelaki Cinta, mungkin karena kehadiran puisi di dunia, mungkin karena dirinya takut laba - laba, atau juga, mungkin karena gue hanyalah Alex.

Di antara kepulan asap yang menari nakal, gue temukan jawaban yang bersembunyi ; mungkin sesederhana kenyataan, bahwa Min tidak merasakan hal yang sama.

Sesederhana itu.
Read More