Saturday, April 7, 2018

Sendiri adalah bahaya.



Belakangan ini, kemudi hidup serasa hilang kendali. Entah jalan ke mana. Semuanya lewat begitu saja. Aneh. Gue nggak tau bahwa gue dapat berpartisipasi dalam lomba Debate berstandar nasional. Gue nggak tau, bahwa gue bakalan tidur enam jam belakangan ini. Gue nggak tau bahwa Min akan tetap menolak.

Selain semua yanga ada, tulisan kali ini adalah tentang Min. Yang kembali menghantui pemikiran sesaat gue pulang sekolah hari sabtu, baru saja.

Pernah nggak sih, hati kalian yang tengah gundah akan kenyataan tiba - tiba berubah. Entah lebih baik atau lebih buruk.

Hari ini, gue tengah menapaki jalan dari kelas menuju  ke bawah. Tanpa sengaja, semesta mempertemukan gue dengan Min. Di dekat pilar kesiswaan, gue patah hati.

Sesimpel itu. Dari mulai melihat dirinya bersama laki - laki lama nya beberapa jam sebelum itu semua terjadi sampai ke titik ini. Titik di mana Min mengeluarkan sihir kembali. Min memang punya kemampuan spesial ; Mampu membuat orang jatuh cinta tanpa repot - repot. Bahkan, hanya dengan berdiri saja, berhasil membuat gue jatuh cinta. Inilah, curang.

Titik di mana gue nggak tahu harus berbuat apa.

Gue memberhentikan langkah di dekatnya. Sejak awal, jangankan mengambil langkah untuk mendapatkan, berbicara pun seketika menjadi sesuatu yang sulit. Jika memang berbicara kepadamu adalah hal yang mudah, kamu sudah menjadi milikku, saat ini juga ! 

Gue coba untuk berbicara. Tanpa banyak bicara dan antusias yang terbatas, dia hanya menggeleng menjawab pertanyaan dari gue. Mungkin, dia tengah tidak dalam mood untuk berbicara. Hidungnya benar - benar seperti nafas seorang perenang, kembang kempis. Sayangnya, saat kembang ataupun kempis, hidungnya tetaplah cantik.

Seketika gue merasa bahwa dia keberatan dengan kehadiran gue. Tanpa banyak bicara, gue pulang. Ada hari yang mulai memanas, ada langkah kaki yang bergerak, ada hati yang patah. Gue kecewa dengan apa yang terjadi. Dalam perjalanan pulang, di atas motor, gue habiskan rindu dan kekecewaan gue sendiri. Gue lahap habis,

Mungkin dia tengah berbahagia saat ini. Bermain bersama teman karibnya. Tengah karaoke, atau tengah menyaksikan film, atau sekadar makan bakso depan rumah sebagai hidangan sore. Satu hal yang gue yakin, menjadi dirinya adalah suatu anugerah tak terelakan. Gue yakin hidupnya enak. Jika takaran enak adalah manis,maka segala aspek kehidupannya adalah enak adanya. Darimana gue tau ? dari hidungnya.


Sendiri di atas motor, membawa gue ke ujung ruang kepala. Bertanya - tanya apa yang sebenarnya terjadi. Memastikan lebih, bahwa hati yang patah ini esok akan tersusun kembali untuk siap kembali patah. Itulah hati, nasibnya buruk. Hanya untuk dipatahkan.

Sampai rumah, gue menyajikan diri sendiri dengan segelas teh hangat. Gue habiskan bersama jendela yang terbuka. Teh selalu hadir di saat - saat seperti ini. Sendirian di rumah membuat gue terpaksa diam tak bersuara. Tak tahu siapa yang harus diajak berbicara.

Jika Min adalah teh, pada hari ini akan gue pesan segelas teh untuk selamanya hangat. Agar seperti apa yang terjadi ini, tetaplah terjadi. Seperti kepulan asap teh hangat siang hari ini, harapan - harapan gue terhadap Min seakan ikut menari - nari. Tak lama, hilang termakan udara.

Menyeruput sedikit demi sedikit, mencoba mereka ulang semuanya.

Bertanya - tanya apa yang membuat dirinya menjauh atau risih atas kehadiran gue. Mungkin, karena baju pramuka hari ini, mungkin karena dirinya adalah malaikat, mungkin karena kami jauh berbeda, mungkin karena gue jelek, mungkin karena gue bukanlah sosok yang diharapkan, mungkin karena somay perlu bumbu, mungkin karena bunga selalu layu, mungkin karena perjuangan adalah cerminan dari kesia-siaan, mungkin karena Rangga adalah lelaki Cinta, mungkin karena kehadiran puisi di dunia, mungkin karena dirinya takut laba - laba, atau juga, mungkin karena gue hanyalah Alex.

Di antara kepulan asap yang menari nakal, gue temukan jawaban yang bersembunyi ; mungkin sesederhana kenyataan, bahwa Min tidak merasakan hal yang sama.

Sesederhana itu.

1 comment: