Sunday, March 28, 2021

Peristiwa Pencopetan Hati Aurel

(Cerita ini akan dilanjutkan pada postan mendatang (kalo gue enggak males)) 


Ini adalah cerita saat gue masih SD. Tepatnya, kelas satu SD. Pertama kalinya, gue suka sama cewek. Kelas satu SD. Namanya Aurelia. Cewek paling rajin satu jagad Sekolah Dasar. Dia adalah tipe cewek yang selalu dibawakan bekal, botol minum Tupperware mahal dan besar, dan dia adalah sosok cewek yang sebelum sampai di sekolah, wajahnya dibedaki oleh Ibunya. Oh iya, dia juga adalah sosok cewek yang jika sedang sekolah, Ibunya tetap menunggu kepulangannya. Itulah dia, Aurelia.

Lalu ada gue, teman sebayanya, yang tidak pernah dibawakan bekal, enggak pernah bawa botol minum ( bukan berarti gue minum air keran ), dan asap rokok adalah foundation sekujur tubuh gue. Satu SD, juga bukan lagi moment di mana gue menjadi anak yang dimanja, yang ditunggu kepulangannya oleh orang tua gue. Memang dulu, saat di Taman Kanak – Kanak, gue selalu ditungguin oleh  Ibu gue. Semua itu berubah saat di mana, TK, gue berak di celana.

“Mamanya Alexander, Mamanya Alexander tolong datang” Teriak Ibu Devi, Guru TK gue, ke suatu arah tempat para Jeng sedang berkumpul.

Gue ? Gue di sebelah Ibu Devi dengan celana berlumuran benda cair berbau tidak sedap. Gue sendiri enggak tahu apa yang baru saja gue konsumsi sehingga menimbulkan bau tikus mati seperti itu.

Dari kejauhan, gue melihat Ibu gue berangkat dari tempat duduknya

“Syukurlah” Ucap gue dalam hati.

Ternyata, Ibu gue, mengarah ke arah gerbang keluar sekolah dan bukan ke arah gue.

Saat itu, gue patah hati. Tapi sekarang, gue paham, bahwa Ibu gue memang harus melakukan itu. Ya, kabur demi menyelamatkan harga dirinya di antara Jeng – Jeng yang lain.

Namun, Ibarat insting seorang Ibu yang tidak akan pernah meninggalkan anaknya yang berlumuran tinja, nyokap gue Kembali membawa celana seragam baru dari balik jok motornya. Saat itu, gue berpikir

“Waw, Ibuku adalah sosok yang mempersiapkan segalanya”

Namun, sekarang gue jadi kepikiran, kenapa nyokap gue bisa – bisanya mempersiapkan celana cadangan untuk anaknya? Apakah dia setidak percaya itu bahwa anaknya mampu melewati hari – hari sekolah tanpa berlumuran tinja ? Tapi bagaimanapun juga, tebakan Ibu gue saat itu, benar seratus persen.

Lalu terjadi percakapan antara Ibu Devi dan Ibu gue.

“Aduh, udah enggak apa – apa Ibu, Namanya juga anak kecil.” Ucap Ibu Devi menenangkan Ibu gue yang saat itu martabatnya harus terserang di depan Ibu Ibu lainnya.

“Iya Ibu aduh maaf banget ya ngerepotin. Iya ibu, si Alex masih kecil. Udah sini gapapa biar saya aja yang bersihin Bu.” Bales Ibu gue.

Saat itu gue terharu, nyokap gue mau melakukan semua itu demi gue.

“Udah lex gapapa, ayo ke WC.” Dia berkata sambal tersenyum seolah – olah menutupi sebuah kebenaran yang sudah lama ditutup – tutupi. Seolah – olah dia berkata

“Alex, kamu Bego.”

Untungnya, di saat itu, Aurel tidak ada di TKP (Tempat Kejadian Pemberakan).

 Itulah gue, seorang laki – laki dengan intelegensi selevel coklat coki - coki, menghabiskan banyak waktu di warnet, dan sama sekali tidak terawat. Tapi itulah juga gue, sosok yang nekat bukan main, berani menaruh hati untuk wanita selevel Aurel.

Gue dan Aurel, kita bukanlah teman satu kelas. Hal ini tentu mempersulit gue untuk bisa mencari perhatian dia dari dalam kelas. Satu, karena kita tidak di kelas yang sama. Dua, karena gue tolol nan bego. Pernah sekali pada saat pelajaran penunjukan jam, Ibu Uni ngasih gue replika jam,

“Alex, coba tunjukin Ibu Pukul 10.15”

“Ibu, waktu adalah hal yang fana, waktu bukanlah untuk ditunjukan, tetapi untuk dijalani.”

Gak lama, gue diusir.

~

Aurel adalah sosok yang jika sekolah masuk jam sepuluh pagi, dia sudah siap di sekolah sekitar jam delapan pagi. Tentu, karena dia akan menghabiskan waktunya untuk belajar dan makan bersama Ibunya. Gue pun begitu. Jika sekolah masuk jam satu siang, biasanya, gue udah siap sekitar jam sepuluh atau sebelas siang. Bukan. Bukan untuk belajar. Tetapi untuk main benteng atau polisi-maling.

Dulu gue adalah sosok yang terkenal sebagai ketua geng dalam dunia per-polisi malingan. Karena pada saat itu, kemampuan lari gue adalah salah satu yang tercepat ( Kemampuan ini gue dapatkan dari Latihan menghindari pukulan emak gue di rumah). Begitu juga dengan Steve, dan Nugra, teman bermain gue saat itu. Steve dikenal juga memiliki kemampuan lari yang cepat, sampai – sampai pernah terjadi kecelakaan yang cukup mengenaskan yang melibatkan Steve dan Ibu – Ibu penjual bakso. Pernah juga, dia lari nyeker dan dikejer rame – rame, sambil bawa ayam (belakangan diketahui bahwa Steve memang nyuri ayam). Berbeda dengan Nugra, yang tidak memiliki kemampuan lari yang cepat, tetapi, setiap dia lari, gerakan dia seperti bebek. Jadi, kita selalu ajak dia main untuk jadi regu polisi. Biar jika dikejar Nugra, ada sensasi – sensasi lagi dikejar hewan bermoncong panjang.

Ya. melalui olahraga kasar seperti itulah, satu – satunya kesempatan gue untuk bisa mencari perhatian Aurel. Pikiran Gue setiap kali berlari adalah berharap Aurel, yang sedang membaca buku di taman sekolah, sesekali melihat gue yang sedang dikejar oleh lebih dari satu orang dan tidak kena – kena. Lalu Aurel akan berkata, “Hebat sekali Pria itu.”

Enggak jarang,  rute lari pun gue usahakan sedemikian rupa lari ke sekitar tempat Aurel belajar. Biar dia menyadari kehadiran gue. Pernah juga gue atur rencana bersama Steve.

“Steve, gue mau lo jadi asisten gue kali ini.”

“Siap Lex.”

“Gue akan lari ke arah Aurel, dan lo akan kejer gue ke arah sana. Lo akan berusaha ngejer gue, tapi enggak kena – kena. Kalo bisa di antara proses pengejaran itu, lo selipkan kata – kata pujian untuk gue. Seperti “Alex udah ganteng kok larinya kebut banget, Macho!” Seperti itu. Oke ?”

“Lex, ini jijik. Tapi ok”

“Nanti gue traktir Es Ibu Slamet di samping sekolah.”  

“Deal.”

“Deal.”

Tak lama kemudian, scenario mulai kami jalankan.

“Aurel sudah berada di posisi” Kata gue.

“Oke.”

Gue mulai lari sekenceng – kencengnya. Saat itu, potensi maksimal gue sebagai tukang copet gue keluarkan demi mendapatkan perhatian Aurel. Steve, tidak lama mulai mengejar ke arah gue. Melalui ujung bola mata gue, gue bisa sedikit melihat ke arah belakang. Steve lari sekencang – kencangnya juga. Bedanya, kali ini dia tidak berlari membawa ayam.

Seperti yang gue bilang, Gue dan Steve adalah sosok yang terkenal karena punya kemampuan lari paling cepat di antara yang lain. Ini adalah momen Langka, di mana kami berdua masing – masing mengeluarkan potensi terbesar kami sebagai pencopet bersamaan. Saat itu, semua mata tertuju pada kami berdua. Begitu juga dengan Aurel. Saat itu gue seneng, rencana gue mulai mengindikasikan keberhasilan. Gue dapet perhatian Aurel.

Saat itu kami berdua lari, semakin dekat ke arah Aurel yang sedang belajar di bawah pohon besar. Aurel melihat kami berdua berlari ke arahnya.

Tiba- tiba,

“JDAKKKKKKKKK”

Steve tidak sengaja terpleset plastik es ( yang gue curiga, bekas plastik es Ibu Slamet samping sekolah). Steve tergeletak tidak berdaya di paving sekolah gue. Untuk jatuh dalam kecepatan seperti itu  gue khawatir Paru – paru Steve melorot ke selangkangan dia. Steve sempat tidak bergerak untuk sesaat. Lalu akhirnya terbangun. Mukanya hancur. Alisnya somplak, Idungnya bedarah, bibir pecah – pecah, dan terlihat sedikit gejala gangguan kehamilan. Gue terdiam, Aurel terdiam, teman – teman yang ikut bermain terdiam. Hanya suara Ibu – Ibu yang teriak minta tolong yang mengisi keheningan.

Enggak lama, si gila Steve, bangun dan melanjutkan proses pengejaran terhadap gue. Gue hargai profesionalitas Steve. Namun yang lebih tololnya lagi, gue ikut dan kabur lagi. Steve mengejar gue dengan wajah penuh darah. Saat itu, gue berasa lagi dikejer boneka Chucky yang sudah akil balik. Saat itu semua orang langsung teriak dari kejauhan,

“Udah woi udah udah”

Akhirnya kami berdua berhenti, Steve lalu dilarikan ke UKS sekolah.

Sisa lah gue termenung. Dari jarak yang tidak seberapa jauh, gue melihat wajah Aurel yang memberikan ekspresi kecut ke gue. Saat itu, rencana gue gagal total. Usaha gue untuk terlihat keren sebagai laki – laki di mata Aurel, justru menjadikan gue terlihat sebagai pembunuh bayaran.

Setelah itu, orang – orang mulai kembali menata aktivitasnya. Teman – teman yang lain pada udahan. Sepertinya karena trauma. Ibu – ibu kembali bergosip. Gue ? duduk dan menyendiri, menyadari betapa hancurnya kesempatan gue membuat Aurel bangga dengan keberadaan sosok laki – laki macho seperti gue.

Aurel ?

Dia tiba – tiba hilang.

 

 

 

 

1 comment: